Selasa, 26 April 2016

Sebuah Permulaan…

Sudah tiga hari terakhir ini saya dilanda kejenuhan luar biasa di tempat kerja. Entah karena memang jenuh atau sakit hati dengan instansi yang menaungi saya sekarang ini. Pagi ini saya mulai dengan mengetik “radarlangit” di kotak seluncur saya. Sedetik kemudian muncul nama “irero” di deretan teratas hasil seluncur. Wow, keren juga perempuan satu ini. Dia sukses menempatkan blog pribadinya ke urutan teratas mesin pencari.

Semalam, dia bbm meminta saya menulis lagi untuk dia post di blognya ini. Saya ketawa aja. Bukannya apa, dia tahu betul saya mandul nulis 2 tahun terakhir ini. Sejauh ini saya cuma nyampah di sosmed dan itu yang membuat dia gemas. Entah kenapa pagi ini jemari saya lumayan lancar mengetik. Mungkin terdorong rasa bersalah karena ga bisa menghadiahinya tulisan di hari pernikahannya setahun lalu. Atau saya mulai menemukan gairah untuk menulis lagi karena pengakuannya semalam. Pengakuan ayahnya dan mantan redaktur koran tempat kami menjadi Freelance Journalist 2 tahun lalu. Pengakuan bahwa tulisan saya di koran itu lebih bagus daripada tulisannya. Okay, I admit that’s mean a lot for me. Butuh hati yang besar untuk mengakui sahabatmu lebih hebat dalam mengeksekusi news. Hahahaha…

Okay, let me tell u this. I’m ur biggest fan actually. Ga cuma demen ngintip beranda FB dan Twittermu, I’m always waiting for new post on your blog. Saya ga pandai mengeksplor tentang bagaimana tulisan menjadi lebih dramatis dengan ornamen-ornamen tertentu. Atau bagaimana mengubah tampilan blog menjadi lebih menarik. Mungkin saya penganut paham old school alias gaptek terkait ornamen pelengkap itu. Hahaha…

Hubungan kami cukup unik, kami saling mengagumi satu sama lain. Satu hal yang saya ingat tentang Ire Rosana, kegigihannya. Well, I thought she’s a real wonder woman alive. Hahaha…Saya kenal dia sejak di bangku kuliah dan bergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Dimensi. Saya adik tingkatnya, karena itu saya terbiasa memanggil dia Mbak atau Mak. Walaupun usia kami hanya terpaut 8 bulan, tapi dalam beberapa hal dia memang jauh lebih dewasa ketimbang saya. 

Dia sering bercerita tentang masa kecilnya. Tentang penghapus. Ingatan saya ga begitu bagus. Banyak cerita masa kecilnya, tapi yang saya ingat sejauh ini baru soal penghapus karena beberapa waktu lalu sempat dia singgung di sosmed. Pardon me, Mak. Cerita tentang masa kecilnya itu yang membuat saya jatuh cinta dengannya. Betapa dia struggle dengan segala keterbatasannya waktu itu. Hal itu pulalah yang akhirnya membentuk dia menjadi wanita kuat dan mandiri seperti sekarang ini.

Soal kegigihannya. Dia orang paling gigih dalam banyak hal. Pendidikan, karir, passion, termasuk percintaan. Yang terakhir ini buat saya agak menyedihkan mengingat dia beberapa kali gagal sebelum akhirnya berlabuh pada sosok Petualang Cilik, partner hidupnya sekarang.

Dia lumayan konsisten. Tangguh. Bayangkan, dia yang dulu payah banget dalam mengenal jalan, sekarang menjadi salah satu penakluk Jakarta. Oke, agak berlebihan sih. Lebih tepatnya, dia berani jauh-jauh dari Depok ke Tanah Abang sendirian belanja kebutuhan online shopnya. Saya aja nih ya, yang dulu rajin banget dinas ke Jakarta, sampai detik ini masih ga berani menjelajah Jakarta sendirian. Dia ga mudah terprovokasi situasi. Beda dengan saya yang sangat insecure sekali saat berada di lingkungan baru.

Oh iya, dia juga teman yang sangat perhatian. She love details. Dia ingat banyak hal tentang kawan-kawannya. Selalu mengingat hal menarik dari mereka. Ga heran, saya banyak menemukan nama saya dan Milla berserakan di beberapa tulisannya. I love you, Mak.

Soal passion. Kami memulai start di waktu yang berbeda. Dia lebih dulu menekuni jurnalistik. Walaupun seiring berjalannya waktu saya mengunggulinya. Tapi dia berhasil mengubah keadaan. Dia menebus kegagalannya dengan makin produktif menulis. Saya ingat tulisan-tulisan pertamanya dulu di blog. Seputar jalan-jalannya ke Singapur, dll. Lumayan belepotan. tapi dia ga berhenti menulis. Ga berhenti membaca. Sampai akhirnya dia keluar dari kantor lamanya dan memutuskan hijrah ke Semarang. Disitulah dia membuktikan, kegigihan mengalahkan bakat. Tulisannya makin hidup, liar dan inspiratif. Poin terakhir ini yang dulu selalu saya tekankan ke rekan-rekan reporter Dimensi.

Saya pernah membidani bulletin di NGO tempat saya bekerja. Sampai detik ini, itu salah satu pencapaian terbesar dalam karir menulis saya. Jujur, sejak kuliah saya mengaguminya. Tidak sebesar saya mengagumi Pemimpin Umum Dimensi waktu itu sih. Hahaha. Dia menarik, unik lebih tepatnya. Saya ga benar-benar dekat waktu itu. Banyak yang membandingkan kami. Mereka bilang, tulisan saya lebih bagus, kepemimpinan saya lebih baik. Waktu itu kami pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Dimensi. Dia pun terang-terangan mengakui kecemburuannya pada saya.

Ditengah kesibukan saya mengurus bulletin baru, dia mengenalkan saya ke sebuah koran harian baru di Semarang. Rupanya dia baru bergabung sebagai Freelance Journalist disana. Saya ragu. Jujur saya ga pede sama sekali. Walaupun menurut mereka tulisan saya bagus, tapi saya bukan wartawan yang bagus. Saya lebih menyukai essay, karena saya bisa mengumpulkan berbagai macam sumber untuk mendukung tulisan saya. Tidak melulu berhadapan dengan narasumber yang berarti harus mobile kesana sini. Ketemu banyak orang dengan berbagai karakter dan situasi. Disitulah letak perbedaan kami. Dia baru bisa nulis kalau sudah melakukan reportase. Saya? Beri saya akses internet penuh dan sejumlah literature, saya eksekusi dalam waktu kurang dari 2 jam.

Tapi roda berputar. Saya yang, katanya sih, dipuja-puja sana sini, tiba-tiba mandul menulis! Sejak saya bekerja di pemerintahan, perlahan life style saya berubah. Hedon? Pasti. Saya tinggal di Bali, pusat hedonism, modernitas dan kultur bersimbiosis membentuk situasi yang membuat siapa saja betah hidup disana selamanya. Idealisme saya terkikis sedikit demi sedikit.

Saya masih suka membaca waktu itu. Satu setengah tahun disana, saya punya satu kontainer penuh novel yang kebanyakan belum saya sentuh. Satu hal yang ternyata mengubah saya. Dulu saya belum mampu membeli buku sendiri. Sekalinya punya buku, senangnya bukan main. Sekarang, beli buku tak ubahnya seperti beli teh botol. Saya suka membeli buku, mungkin pelampiasan karena dulu harus nabung dulu demi bisa membawa pulang satu buku. Sekarang? Saya bisa membeli kapanpun dan sebanyak apapun buku yang saya mau. Saya baca semuanya? Tidak. Seringnya hanya memenuhi rak buku di kamar mess.

Saya malas menulis. Malas membaca pula. Akhirnya, saya mandeg menulis. Saya hanya ketawa aja saat disindir mandeg nulis. Jujur saya bingung harus mulai darimana. Otak ini mendadak tumpul. Seolah kejayaan waktu itu tak ubahnya seperti mimpi siang bolong.

Sampai keadaan berubah 180 derajat. Okober 2015, Saya harus pindah ke Ketapang, kecamatan paling ujung Jawa Timur. Diluar konflik internal yang saya alami dibawah pimpinan yang baru, ada perubahan kondisi yang mau tidak mau harus dijalani. Saya harus merasakan susahnya tinggal di kota kecil yang serba apa adanya ini. Kebayang kan, tinggal di daerah perbatasan gini, serba terbatas.

Saya pernah curhat ke pasangan, saya pengen nulis lagi. Seolah ada bagian yang hilang dalam diri saya. Saya merasa tak ubahnya seperti robot. Kosong. Saya harus nulis, tapi saya ga tahu mulai darimana. Saya sudah menghadap laptop, tapi ga satu pun kata terlintas di benak saya. Saya percaya, menulis itu mulai dari hati, dan biarkan otak yang mengeksekusi.


Dan disinilah saya sekarang. Mulai menggerakkan hati, jemari dan imajinasi untuk menulis lagi. Mungkin ini proses menyatukan lagi puzzle yang berserakan. Butuh waktu, tapi setidaknya saya sudah memulainya.

1 komentar:

  1. aku bukan orang yang tau tentang tulisan, bobotnya ataupun kandungannya. tapi, jujur aku suka baca tulisanmu ini mbak.
    good luck sista, semoga tulisan2mu membanjiri media tanah air kelak.

    BalasHapus